Hallo! Ini cerpen sebenernya bisa kalian baca di facebook Cerita Kejoe, tapi berhubung gue bingung mau ngisi apa di blog ini, akhirnya gue mutusin buat re-share nih cerita. Gak papa kan? Okeh okeh, kita langsung baca aja yuk.
Story*
“….berisi tentang bagaimana hujan,rindu dan masa lalu menjadi trilogi yang tidak bisa dipisahkan.”
Rindudan masa lalu adalah sepasang ikatan yang sangat erat. Dua hal ini menjadi sesuatu yang menakutkan bagi hati yang ingin melepas kenangan. Begitu kejam karena tidak mau lepas, seperti sudah terikat pada garis kehidupan. Angin berhembus membawa setiap kenangan, semerdekanya menabukarkan luka pada hati yang sebentar lagi akan terobati. Sungguh tega dan membuatku semakin membenci waktu,kenapa waktu tidak bisa menghentikan kenangan?
Aku adalah gadis yang selalu tersenyum malu di balik rambut panjang yang tergerai.Pribadi yang menurutku kuat menghantam kenangan yang setiap detiknya melintas tanpa permisi, memporandakan kondisiku yang belum tertata. Seseorang sepertiku hanya bisa tersenyum menatap kejamnya masa lalu. Menganggap jika itu adalah hadiah yang membantuku kuat.
Tiga tahun di musim gugur yang lalu, aku masih menjadi gadis yang tidak tahu apa itu rapuh dan apa itu kesakitan. Aku hanya mengenal jika dunia saat itu adalah masa yang menyenangkan dengan senyuman manis di setiap orang yang ku lintasi. Sampai pada pertengah musim gugur aku mulai mengenal rasa menyukai lawan jenis, kala itu aku jatuh cinta untuk pertama kalinya. Seseorang yang membuatku tersipu malu adalah laki- laki manis bernama Rain.
Dimulai saat aku menjadikan perpustakaan kota sebagai tempat favoritku sepulang sekolah. Aku selalu mengunjungi perpustakaan karena aku menyukai buku dan buka adalah mata ketigaku untuk melihat dunia. Bahkan seorang penulis pernah mengatakan bahwa wanita seksi adalah wanita yang gemar membaca. Dan aku menyetujui hal itu. Serta karena buku, aku bertemu dengan Rain. Kami bertemu karena kami sama- sama mencari satu judul buku yang sama.
_00oo00_
Rain menjadi nama yang selalu membangunkanku saat matahari menggantikan bulan. Mengirimkan ucapan selamat pagi setiap harinya yang sama namun selalu berhasil membuat hatiku bergetar dan terbang. Kadang kala Rain selalu menjadi teman baik saat sekumpulan tugas berbaris di depanku, dia akan ikut membantu mengerjakan tugasku yang menari- nari meledek. Dan Rain akan berubah menjadi alarm saat aku lupa jam makan siang. Waktuku selalu berharga setiap ada Rain.
Namun,aku begitu membenci salah satu sifatnya. Apa? Rain tidak bisa mengucapkan kata- kata manis. Suatu ketika aku pernah benar- benar marah tentang satu sifatnya itu. Kala itu jam istirahat merupakan waktu dimana aku gemar berkumpul bersama Valen dan Risma. Kami sama- sama menceritakan hal manis yang pernah dirasa. Dan cerita manis itu selalu berkaitan dengan pacar. Aku hanya bisa menggunakan hati untuk menceritakan itu semua. Bahkan aku hanya bisa mendengar gelutukan gigi mereka yang kesal karenaku.
Dan malam setelahnya Rain kebetulan menemuiku. Kami duduk di teras rumah dengan hening tanpa memperdulikan dua cangkir teh yang bosan karena terus menguap. Keheningan berakar sejak setengah jam yang lalu, sehingga berkembang tidak karuan seperti ini. Kami asyik dengan kegiatan masing- masing. Aku asyik dengan kegiatan menundukan kepala, melihat kedua kakiku yang terus bergerutu karena kedinginan dan Rain asyik dengan kegiatan mengetukan jari- jemarinya di atas meja. Hal yang begitu menggemaskan bagi orang yang melihat ini.
“ Katakan apa salahku.”
Rain memulai memangkas keheningan sedangkan aku tetap diam. Ku beri tahu, Rain memiliki mata yang tajam dan akan menusuk di saat seperti ini, membuatku tidak berani menatapnya. Merasa tidak mendapat jawaban dariku, Rain kembali mengulangi ucapannya. Ucapannya lebih menuntut.
“Milen, tolong katakan apa salahku!” notasinya dinaikan, sedangkan aku masih pelit untuk memamerkan suara. Detik selanjutnya dia mengangkat daguku dan dia berhasil membuatku menatapnya. Tatapan matanya lagi- lagi dapat kubaca dan sekarang tatapannya menuntutku untuk bersuara.
“Rain, aku—” aku kembali menumbuhkan akar keheningan dengan memotong ucapanku. Begitu menyebalkan diriku saat ini. Namun lagi- lagi Rain mengangkat daguku.
“ Ini masalah tentang temanku dan pacarnya.” Rain merubah ekspresinya, menunggu puluhan ucapan yangsebentar lagi akan keluar berurutan dari mulutku.
“ Aku iri pada mereka Rain. Mereka selalu diberi ucapan manis. Contoh Valen, pacarnya selalu mengirimkan Pu—” mungkin karena Rain mengerti tentang topik yang dibicarakan,dia buru- buru memotongnya.
“Milen!” dia meraih tanganku dan digenggamnya. Dia kembali menatapku dan memerkan tatapan tajamnya. Mungkin detik selanjutnya dia akan membunuhku dengan puluhan tatapan tajamnya yang kali ini membuatku ngeri.
“ Katakan siapa namaku!”
“Rain.”
“ Kamu tahu namaku. Kamu seharusnya tahu bagaimana aku, Milen. Dan kuberi tahu padamu, aku berbeda dengan pacar temanmu.”
“ Aku tidak mengerti ucapanmu Rain.”
“ Caraku menyampaikan suatu hal yang manis tidak melalui perkataan. Karena jika kamu perhatikan, aku menyampaikan hal manis itu melalui perlakuanku.”
Detik selanjutnya aku tersenyum dan memeluknya. Jika kamu perhatikan, dia barusan berhasil mengatakan hal yang manis. Dan hatiku bergetar menyukainya.
_00oo00_
Hari itu, angin membawa musim gugur untuk terakhir kalinya. Cermin dengan ukiran kayu tersenyum menatapku yang masih bermain dengan sisir. Sebuah suara membuatku semakin menarik bibir, lantas tungkai kakiku membawa ke pekarangan rumah yang di sana Rain menunggu dengan bibir terangkat, semakin mempertegasjika dia memang laki- laki yang paling tampan.
Jari-jemari itu saling bertautan. Aku selalu menyukai bagian ini. Tidak mengapa aku menyukainya karena tangannya benar- benar hangat saat menggenggamku, seperti coklat panas buatan ibu. Senyumnya bahkan seperti candu yang akan membuatku hilang kendali dan tanpa izin menerbangkan jutaan gelembung di perutku. Dia terus menggandengku kemanapun langkahnya ingin pergi, kurasa dia benar- benaringin menjagaku agar tak satu pun tangan jahil menyakitiku.
Aku memintanya untuk istirahat sejenak, dia membawaku duduk di salah satu kedai kopi. Kami memesan minuman yang sama. Frapuccino. Aku menatap langit luar, besok tidak ada lagi daun yang berguguran. Besok salju akan datang. Kalian tahu, aku benci salju.
Salju dingin. Tidak bisa melakukan apapun. Bahkan salju menyiksaku dengan segala cara agar aku tidak pergi ke luar, membuat tanaman yang kutanam di pekarangan rumah sakit karenannya. Dan yang paling kubenci dari salju adalah salju dapat membuat air hujan pergi.
_00oo00_
Rain mengecup keningku saat matahari mengizinkan bulan datang. Kini Rain memeluk kudengan kehangatan yang sudah kuhafal baunya. Dia kemudian memberiku sebuah liontin hati yang detik kini sudah terpasang manis. Dia lagi- lagi membuatku tidak bisa menyentuh tanah, seperti semuanya menjadi awan putih yang nakal.
Jemarinya terlepas dari jemariku. Tungkainya memaksa dia untuk pulang. Aku hanya melambaikan tangan, menggiringnya dengan hati- hati agar ia tidak terjatuh. Dia berhasil membuatku melupakan bagaimana dia membuatku kesal kala itu. Kini,langkahku menuntunku memasuki rumah, membuka kenop pintu yang beberapa saat lalu memberengut karena dihiraukan olehku.
Esoknya pagi menyambutku dengan kejam. Salju turun membawa butiran putih yang sampai sekarang aku tidak bisa memahaminya. Aku melirik ponsel di meja. Benda putih persegi itu menarik perhatianku. Aku terkejut bukan main karena puluhan panggilan tidak terjawab dan pesan masuk hanya berisi nama Rain. Dan kalian tahu, ini ucapan selamat pagi dari Rain yang terakhir.
Selamat pagi cantikku. Salju pertama pagi ini harus membawaku pergi. Dan dia membawaku ke Inggris. Maaf membuat musemakin membenci salju. Jangan menangis. Love you.
Rain.
Dan kalian lihat, salju benar- benar tega membawa Rain pergi.
_00oo00_
Embusan angin datang di sela hujan yang menangis. Aku tetap menatap keluar di balik jendela. Kalian harus tahu, aku ini memiliki jutaan definisi tentang hujan. Kuberitahu salah satu definisi dari hujan. Hujan adalah teman dekat dari rindu.
Hujan dengan suaranya benar- benar menyiksaku dengan segala keahliannya. Hujan memiliki keahlian membawaku ke masa lalu hanya beberapa detik. Dan hujan memang benar- benar hebat dalam menjungkir balikan segala kekuatanku agar tidak menoleh kebelakang, ke masa lalu. Nyanyian di musim hujan bahkan berisi tentang bagaimana hujan, rindu dan masa lalu menjadi trilogi yang tidak bisa dipisahkan.
Tiga tahun tanpa Rain penuh dengan usaha keras. Aku harus memulai segalanya dengan luka yang terbuka lebar. Selama tiga tahun itu Rain tidak lagi menjadi nama yang membangunkanku di pagi hari. Rain tidak lagi menjadi teman saat sekumpulan tugas menari di depanku. Rain tidak lagi menjadi alarm saat aku lupa makan siang dan Rain tidak lagi menjadi hal yang berharga dalam waktuku. Dia hanya menjadi siluet yang menyebalkna karena terus muncul di setiap harinya.
Tiga tahun itu warna hidupku hanya mononton, selalu hitam. Rain memang sangat mempengaruhi kehidupanku. Dulu bahkan, aku mengenal sejuta warna yang Rain siramkaan setiap saat pada kehidupanku. Dia bahkan membantuku menghapus segala warna gelap yang terus menemaniku. Namun kini, dia bahkan mengajariku tentang bagaimana mencampur warna. Dan dia hanya mengajariku cara mencampurkan warna putih dan hitam. Warna yang ingin kuhindari.
Pagi akhirnya datang saat hujan reda. Aku sudah rapi dengan pakaian yang membantu menutupi segala luka yang tertoreh di hati. Rumah yang menjadi tempat menyebalkan selama tiga tahun ini, dengan tega mendepakku agar keluar mencari udara yang segar. Aku mengunjungi festival musim gugur. Rain sungguh tega betul. Tiga kali musim gugur dia tidak memberi kabar padaku. Dia tidak mati kan?
Rain benar- benar tega.Meninggalkanku dengan mudahnya, bahkan cara berpamitannya melalui pesan singkat. Dan benda peninggalannya hanyalah sebuah liontin hati yang baru- baru ini ku tahu jika di liontinnya terdapat tulisan I’ll be back. Dan inilah aku, gara- gara sebuah tulisan pada liontin aku rela kesepian hanya untuk menunggu seseorang.
Angin berhembus,mendorongku agar mengendus bau daun yang berjatuhan. Aku tidak begitu tertarik dengan acara kali ini. Aku hanya berpikir, acara ini akan terasa menyenangkan jika Rain menggandengku di sini. Namun angin seperti mendengarku, tanganku benar- benar terasa digenggam oleh seseorang. Tangan hangat yang kurindukan. Dan angin membisikan suara yang ku rindukan selama ini.
“ Milen. Aku merindukanmu.” Ketika aku menoleh. Senyuman itu terangkat. Dia akhirnya kembali bersama daun yang berguguran. Rain, dia kembali.
-END-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar