Tittle : Insane
Author : Gesit
Genre : Find by yourself
Rated : General
Length : Oneshot
Cast : Lia and others.
Halohalo~ hoho, author abal- abal
kambek nih. Dengan cerita yang biasa gitu- gitu mulu. Maap ya maap. Terutama
sama Lia, maap Li kalauya nih cerita jelek dan ewwh. Maap banget yaa~ ya udah,
ayo langsung cus ke cerita. Mari~
Story*
“…Lagian, seorang kakak tidak
pernah memacari adiknya..”
Hujan
turun. Kehadirannya membawa hawa sejuk dan menyegarkan. Nyaman dan memberi
suasana damai. Tapi suatu hal terasa mengganjal, terasa menganggu, dan aku
masih belum bisa menemukannya. Aku tidak mengetahuinya.
Gemercik
hujan menjadi lagu terindah untuk kali ini, tidak ada petir, tidak ada angin.
Benar- benar hanya ada langit dan air hujan. Dan aku begitu menyukainya.
Sekarang, aku masih
menatap luar di balik jendela kamar yang berembun. Suasana di luar sana
terlihat menggodaku untuk keluar dan bermain dengan hujan. Aku ingin bermain.
Tidak,
aku tidak mungkin bermain dan menyapa hujan hari ini. Rasa pusing di kepalaku
belum lah sembuh, jika aku terus memaksakan, rumah sakit menjadi resikonya. Aku
tidak mungkin dengan sukarela berkunjung ke sana, tidak akan.
Ponselku
bergetar satu kali. Aku kemudian bergegas dan menghampiri ponselku yang
tergeletak di kasur, kemudian aku membaca satu pesan masuk. Pesan yang –
sebenarnya tidak – ku harapkan.
Hai Li! ^_^
Aku
bergeming untuk beberapa saat, nafasku tertahan. Tanganku secara tiba- tiba
meremas dadaku, getaran di sana begitu cepat. Dag, dig, dug. Seperti
menggemakan sebuah rasa, rasa rindu, rindu yang menyakitkan. Dan ini lah
jawabannya, jawaban dari perasaanku yang selalu kosong dan sesak. Heol, baik lah, mari akan aku ceritakan
tentang hal ini. Tapi tolong jangan tertawa.
_00oo00_
Apa sih yang kalian rasakan saat
jatuh cinta? Senang? Tentu saja. Berbunga- bunga? Sudah pasti. Dan yang pasti,
kalian akan menjadi sosok yang berbeda dari biasanya. Dan aku seperti remaja
kebanyakan. Aku bahkan tidak bisa tidur karena terus mengingat wajahnya. Ini
berlebihan memang, tapi aku yakin, diantara kalian yang kini tengah mengataiku
berlebihan, kalian pernah merasakan apa yang aku rasakan ketika sedang jatuh
cinta. Jangan mengelak!
Kini bahkan aku tengah menunggu
laki- laki itu keluar dari kelasnya. Dari kejauhan sih, tidak mungkin kan aku
terang- terangan menunggunya di depan kelasnya dan kemudian aku berteriak ‘Hai
boy! Akhirnya kamu keluar! Aku sedari tadi menunggumu! Ayo pulang dan makan
siang!’. Ugh, menggelikan kan? aku jelas saja tidak mau melakukannya, selain
memalukan dan menjijikan, hal tadi juga bisa merusak reputasi diri. Dan aku
tidak menginginkannya.
Tik tok tik tok dan dia keluar dari
kelasnya, dia berjalan dengan langkah khas miliknya, setiap langkahnya bahkan
berhasil menggetarkan hati, membuat perutku geli dan ingin meledak karena
terlalu senang.
“ Hai Li!”
Aku ingin pingsan sekarang juga,
ya, sekarang! Dia menyapaku, dia menyapaku! Kalian lihat kan? Aku kemudian tersenyum
dan membalasnya. Dan sial! Bahkan menyapanya lidahku kelu, terlalu grogi. Dan
ya ampun, kenapa Tuhan menciptakan manusia tampan sepertinya, hampir sempurna
dan hampir tanpa cela. Kalian jangan banyak komentar, setiap orang yang jatuh
cinta selalu memuji orang yang mereka suka. Walaupun, orang yang mereka suka
wajahnya amit- amit jabang bayi, mereka akan tetap menggambarkannya sebagai
sosok yang sempurna. Tapi Zann memang tampan, orang lain pun mengatakan hal
yang sama.
“ Kamu di sini sendirian Li? Tidak
berniat pulang?” dia memang selalu seperti ini, ramah kepada siapa pun. Dia
bahkan menyadari kehadiran sosokku yang berusaha kusembunyikan di tempat paling
tersembunyi. Tapi dia selalu berhasil menangkap sosokku. Heol, Tuhan memang
selalu baik. Bahkan do’aku untuk bisa bertemu Zann selalu terkabul.
“ emm, ini, aku hendak pulang. Sebenarnya tadi
bersama San, tapi dia lebih dulu pergi.” Dia mengangguk dan setelahnya dia
tersenyum dan menawariku pulang bersama, dan jelas saja aku tidak bisa menolak.
Kesempatan kan tidak datang dua kali.
Kami berjalan dalam pembicaraan
ringan, menceritakan pengalaman pribadi bahkan sampai membahas materi sekolah.
Dia memang sosok orang yang ramah dan selalu bisa membuat orang lain nyaman di
sampingnya, termasuk keahliannya membuat topik segar dalam sebuah obrolan.
Langkah kami tiba di depan rumahku,
Zann memaksa untuk mengantarku pulang, katanya, dia tidak tega melihatku pulang
sendirian, Oh God! Siapa perempuan yang tidak gila untuk hal ini? Ini benar-
benar bisa membuat jantungku meledak. Aku kemudian mengucapkan terima kasih
karena Zann sudah mengantarku. Dia mengangguk dan menunjukkan senyum manisnya.
“ emm Li, boleh ku minta nomor ponselmu? Berteman
denganmu rasanya menyenangkan.” Okeh Li, tenangkan dirimu, dan cepat sebutkan
deret nomor ponselmu. Ingat, awal hubungan yang manis berawal dari pertemanan.
Cepat sebutkan! Dan ya, Zann berhasil menyimpan nomor ponselku. Dan katanya,
dia akan menelponku nanti malam. Sungguh, seseorang tolong jaga aku agar tidak meleleh
secepatnya.
“ emm Zann aku masuk yaa. Kamu hati- hati di jalan.”
Dia mengangguk dan melambai pergi. Dan jelas saja aku masuk rumah dengan gaya
gila yang perempuan lakukan saat jatuh cinta. Melompat dan berteriak senang.
Ah, semoga hal ini menjadi keberuntungan yang beruntut.
_00oo00_
Malam itu Zann benar menelponku,
suaranya begitu menggetarkan hati, bahkan rasanya tubuhku sudah berbentuk cairan
karena meleleh dengan setiap ucapan yang Zann lontarkan. Ingat, dia begitu
perhatian. Di suatu obrolan, dia mengatakan bahwa alasan dia mau dekat denganku
adalah karena aku membuatnya nyaman, aku perhatian terhadapnya ( ini jelas saja
kulakukan. Karena aku kan memang menyukainya, dan salah satu cara agar dia tahu
aku menyukainya ya dengan cara ini), dan aku menyenangkan untuk menjadi teman
bercerita.
“ Besok ada waktu, Li?”
“ Tidak, kenapa?”
“ Mau temani aku jalan- jalan? Aku jenuh di rumah,
ku mohon temani aku ya. Ku mohon.”
“ Baiklah,”
Dan aku benar- benar melayang saat
itu, rasanya jalanan berbentuk cokelat leleh yang menghanyutkanku dalam rasa
manisnya. Dan esoknya, kami benar- benar pergi bersama. Kami menghabiskan waktu
seperti yang biasa anak remaja lakukan. Menonton, duduk dan makan di café,
serta hal yang manis yang kami lakukan adalah kami berfoto bersama. Jarang ada
laki- laki yang mau mengajakku berfoto.
“ Kamu manis Li.” Dan aku terdiam. Bukan karena aku
tidak bisa mencerna ucapan Zann barusan, tapi karena aku berusaha mati- matian
menahan rona merah di kedua pipiku. Sial, bahkan rona merah itu berhasil
tertangkap oleh penglihatan Zann. Dan dia menertawaiku.
“ Lucu. Jika tahu seperti ini, akan kugoda setiap
hari,” Aku melotot, menanggapi ucapannya. Aku kemudian pergi mendahuluinya, dan
dia berteriak, meneriaki namaku. Dan meminta maaf karena membuatku kesal.
“Puas menggodaku? Ugh, lain kali aku tidak mau
menemanimu lagi. Jika tahu seperti ini lebih baik tidur siang di rumah,” ini
bohong Zann, bahkan aku suka saat kamu mengatakan aku manis dan lucu. Ini kan
kata- kata ampuh untuk membuat seorang gadis semakin jatuh cinta pada laki-
laki yang mereka suka.
“ Maaf- maaf Li, jangan marah dong. Aku kan hanya
bercanda. Emm, sebagai gantinya bagaimana kalau aku traktir es krim?” mataku
berbinar, dan kami pun segera menuju kedai es krim. Di sana kami banyak
pembicaraan. Dan tiba dalam satu momen, dia secara langsung mengatakan bahwa
hari ini dia berhasil mengajakku kencan tanpa tahu bahwa aku diajak kencan
olehnya. Dan dia memang benar.
Setelah berhasil menikmati es
cream, kami pulang. Hari sudah sore dan cuaca tiba- tiba menjadi mendung, jadi
kami putuskan untuk menyudahi kencan –manis— itu. Dia seperti biasa,
mengantarku pulang ke rumah sampai dipastikan aku selamat tanpa luka. Kini dia
menggiringku masuk dengan usapan lembut di kepalaku. Ingat, dia mengusap
kepalaku dengan tangannya, tangannya! Hati siapa yang tidak melompat- lompat
untuk hal ini?
“ Sampai jumpa Li!” dia melambai pergi dan aku
membalasnya dengan hal yang sama. Aku masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang
benar- benar berbunga.
_00oo00_
Saat jam istirahat tiba, aku sudah
berada di perpustakaan. Aku dan San berencana mencari buku yang akan menjadi
bahan tugas. Sambil mencari buku, kami sesekali bercengkrama dan bergurau
dengan suara yang kami usahakan sekecil mungkin. Takut mengganggu pengunjung
perpusatakaan yang lain pastinya.
“ emm Li bagaimana hubunganmu dengan Zann? Sudah
sampai mana?” tiba- tiba San mengangganti topik. Dan aku terdiam, aku kemudian
mencari kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan San barusan.
“ Hampir sampai di tempat tujuan.” Tidak, seharusnya
sudah sampai di tempat tujuan, tapi Zann kembali memutar jalan agar kami terus
berjalan tanpa berhasil menyampai tempat yang kami tuju. Tidak, mungkin
maksudku tempat yang ingin kusampai. Mungkin Zann memiliki tempat tujuan lain.
Dalam artian Zann tidak menginginkan adanya sebuah hubungan yang serius.
“ Sudah enam bulan kalian dekat loh. Tidak sampai-
sampai? Mau kalian apa? Bermain? Kalau begitu, pergi saja sana ke taman kanak-
kanak.” Aku tercekat. Tajam benar ucapan
San. Pelan namun berhasil melukai. Dia benar memang, bahkan aku baru sadar jika
sudah lama sekali aku dekat dengan Zann. Tapi tidak pernah ada perubahan, kata-
kata manis sudah sering Zann ucapakan, kata- kata perhatian bahkan sampai
perlakuan manisnya pun setiap hari Zann tunjukkan. Namun begitu, Zann belum
memberi kepastian.
“ Ya tidak apa- apa San. Mungkin dia belum berani
bicara.” Ini bohong. Sebenarnya hatiku benar- benar terluka.
“ Tidak apa- apa?! Baiklah, terus saja seperti ini.
Menjadi jemuran lusuh. Terus saja seperti ini, sampai boyband Korea yang kamu
sukai itu merilis album dangdut yang pertama!” kemudian San pergi dan aku
terjatuh karena lemas dengan ucapan terakhir San. Jemuran? Heh, kenapa aku baru
sadar? Kenapa aku begitu bodoh? Dan saat itu, ketika aku masih berada di
perpusatakaan, aku terisak dan menangisi kebodohanku.
_00oo00_
Hujan turun dan aku dalam kondisi
mengenaskan. Ini terlihat seperti adegan menyedihkan di sebuah cerita fiksi
atupun melodrama. Benar- benar sangat dramatis. Namun sesungguhnya tidak
dramatis karena ini memang keadaanku yang sesungguhnya, sedih dan terbawa
suasana hujan. Bahkan aku seperti menangis bersama hujan karena suara isakku
sama kerasnya dengan suara hujan yang tengah turun. Dan ku mohon, kalian jangan
tertawa. Jika ada yang tertawa akan ku do’akan kalian merasakan apa yang tengah
kini kurasakan. Atau mungkin kalian tertawa karena kalian pernah merasakan
perasaan yang sama? Patah hati karena tidak diberi sebuah kepastian? Ugh,
maafkan aku, aku tidak bermaksud mengingatkan.
Aku kemudian teringat tentang pesan
dari Zann. Dia berpesan agar setengah jam lagi aku harus berada di café yang
biasa kami kunjungi, dia berniat ingin mengatakan sesuatu untukku. Aku hanya
bisa menyanggupi dan ini lah aku sekarang, sedang bersiap dan mencari payung
untuk pergi ke sana. Dan lima belas menit kemudian aku sudah berada di jalan
tengah menuju café.
“ Ada apa Zann?” sebelum duduk, aku sudah menyapanya
dengan kalimat tadi, dia hanya diam dan mempersilahkanku duduk. Kemudian dia
mulai berbicara. Dan dari arah bicaranya, aku yakin dia sedang berusaha mencari
tahu apa arti dirinya bagiku. Kemudian aku tersadar, aku yakin San mengatakan
apa yang terjadi tadi siang pada Zann. Tentang aku yang tidak pernah dberi
sebuah kepastian.
“ Li, jadi selama ini kamu menempatkanku sebagai
apa?” aku terenyak. Bukankah seharusnya aku yang harus berbicara demikian?
Kenapa hal ini terbalik.
“ Seseorang yang istimewa.”
“ Istimewa? Lalu, jika aku tidak menempatkanmu di
bagian itu, bagaimana?” aku meremas rokku. Tolong, jangan, jangan keluarkan air
mata Li. Tahan.
“ Tidak apa- apa.” Ini kebohongan besar! Sebenarnya
jika Zann menganggapku tidak istimewa, aku akan tidak baik- baik. Aku bisa
terluka parah. Sia- sia benar usahaku selama ini, seperti sebuah kegagalan
besar. Sangat besar.
“ Maafkan aku ya. Maaf membuatmu salah paham, selama
ini aku hanya menganggapmu seorang adik. Kamu manis sih untuk menjadi seorang
adik.” Aku semakin meremas rokku. Bahkan kini seperti ada kerikil yang menancap
di hati yang sebelumnya sudah terluka –oleh orang yang sama—. Perihnya tidak
terkira jika kalian menanyakan bagaimana.
“ Oh~ adik. Wah, aku senang mendengarnya Zann. Lain
kali kita saling menyapa dengan tambahan ‘kak’ atau ‘dik’ setelah kalimat
‘hai’. Terlihat pas Zann.” Aku tersenyum, dan ini palsu. Dan yang lebih
menyakitkan, dia tersenyum sangat manis di saat orang yang di depannya sedang
berusaha menahan tangis.
“ Zann, aku pamit pulang yah. Jaga dirimu baik-
baik. Ingat, ini adalah pesan dari seorang adik, jadi, selamat tinggal.” Aku beranjak pergi. Pergi tanpa
memberinya lambaian tangan. Dan aku –berusaha— tidak memperdulikannya lagi
mulai sekarang.
_00oo00_
Ya,
kala itu aku mengakhiri kedekatanku dengan Zann. Susah benar semenjak hari itu
sampai detik ini untuk melupakannya. Sekeras apapun aku berusaha melupakannya,
dia tetap melintas di pikiranku, tanpa permisi pula. Dan semenjak hari itu pun
Zann tidak pernah menghubungiku lagi, selain karena aku selalu menolak
panggilan teleponnya, aku selalu tiba- tiba menghilang jika Zann mencariku. Dan
jika kami berpapasan dan dia menyapaku, aku hanya tersenyum dan setelah itu aku
pergi tanpa adanya lambaian tangan. Dan untuk menanyakan apakah aku
merindukannya, aku jawab iya. Tapi itu hanya rindu perlakuan manisnya, bukan perlakuan
kejamnya. Heh, maaf- maaf saja ya.
Dan
hari ini, dia mengubungiku. Tanpa ada alasan apapun. Rasanya dia seperti
manusia yang tidak mengerti rasa bersalah. Sudah menyakiti tapi tidak pernah
meminta maaf. Sudah membuatku memberi hati, tapi tidak pernah berniat membalas
memberi hati. Dia benar- benar kejam kan?
Aku melirik ponselku, ada sepuluh pesan
darinya. Dan isi pesan darinya adalah kata- kata tidak penting, hanya sapaan.
Aku tidak membalasnya karena aku berusaha mungkin agar tidak berkomunikasi
dengannya lagi, sudah cukup. Selain lelah, alasan lain aku tidak
menghiraukannya adalah aku tidak ingin masuk ke dalam lubang luka yang sama
lagi. Luka yang kualami saja belum benar- benar sembuh, kira- kira jika di
samakan, luka di hati ku kali ini sudah berbentuk koreng, tinggal menunggu korengnya
mengelupas, hatiku –mungkin— akan sembuh. Ya seperti itu kiranya. Dan makanya
aku menghindarinya, takut tiba- tiba lukaku akan tergores dan nanti akan sakit
lagi. Ah, tidak mau.
“ Lia!” ibuku
memanggil. Suaranya seperti yang bisa kalian bayangkan. Ya, kalian pasti
mengerti.
“ Ya bu?” aku menjawab,
namun aku masih tetap berada di kamar.
“ Ada Zann nih. Cepat
turun dong!” mendengar itu, tubuhku kaku. Seperti ada salju yang tiba- tiba
turun.
Dan entah setan apa
yang melintas, aku keluar dari kamar dan pergi menemui Zann. Dia duduk di sana,
dia tersenyum dan kemudian menyapaku. Aku hanya diam dan wajahku tidak
menunjukan reaksi. Kaku.
“ emm Li, aku sudah
izin pada ibumu untuk membawamu pergi, sebentar kok. Ayo.” Aku masih diam. Dan
aku baru sadar ketika aku merasakan dia menarikku keluar. Dan kali ini dia
membawaku ke taman komplek rumah.
“ Ada apa?” kali ini
aku berbicara. Kesadaraanku sudah kembali sepenuhnya.
“ Aku minta maaf soal
enam bulan yang lalu. Masih ingat tidak?” jelas saja ingat Zann. Siapa sih
orang yang bisa dengan mudah melupakan sebuah kesakitan? Apalagi ini luka hati,
susah sembuh. Dan kamu kembali datang hanya untuk berusaha mengobati? Hei
lihat, bahkan lukanya sudah kering. Jadi obat merah pun tidak berguna.
“ Tidak Zann. Yang
mana? Aku tidak merasa kamu pernah berbuat salah?” dia mengernyitkan dahi. Ya,
untuk berada di depanmu, aku berusaha baik- baik. Aku tidak mau terlihat lemah
apalagi di depan orang yang dengan tersirat seperti seorang musuh.
“ Aku yakin kamu masih
mengingatnya. Aku yakin kamu terluka. Dan untuk itu, aku minta maaf dan ayo
kita kembali, kita mulai dari awal. Dan kita ubah hubungan kakak adik kita
menjadi hubungan yang istimewa.” Perasaanku seperti terhempas. Dan luka itu
membuka, tergores. Dia benar- benar brengsek, ugh maaf, aku tidak tahu kata
halus dari kalimat tadi. Maafkan aku.
Dia berani sekali
berbicara, dia kira aku apa? Sebuah penginapan? Yang bisa ia tempati dan
tinggali semaunya, begitu? Benar- benar laki- laki sakit jiwa. Pergi ke rumah
sakit saja sana!
Aku masih terdiam.
Diam, diam dan diam. Aku masih berusaha mencari kalimat yang tepat yang manis,
agar dia tidak berulah dan tidak lagi menjadi sebuah hal yang tajam, yang bisa
melukaiku, terutama hati.
“ Maaf Zann. Mungkin
untuk bisa kembali, kita harus menunggu adanya renkarnasi,”
“ Tapi renkarnasi itu
hal yang mustahil,”
“ Nah! Itu jawabannya.
Kita kembali bersama- sama seperti dulu adalah mustahil, jadi jangan berharap
kita bisa kembali.”
Dia menggeleng dan
membantah jika itu semua bukanlah hal yang mustahil. Aku hanya bisa berdecak
dan melipat tangan. Heh, dasar sakit jiwa, sudah tahu orang yang ada di
depannya menolak pernyataan cintanya, masih saja memohon. Maunya apa? Huh,
orang seperti ini pantas sekali untuk dibuang ke laut.
Dan mungkin untuk
mengakhiri pertemuan dengannya, aku harus berbuat seperti—
“ Zann! Tolong dengar
kan ya. Kita sudah tidak bisa kembali bersama lagi. Lagian, seorang kakak tidak
pernah memacari adiknya. Ingatkan? Kalau sudah paham aku pergi, aku harus
berobat. Jadi selamat tinggal kakak!” kemudian aku pergi – untuk selama-
lamanya—
Dari hadapan Zann,
seseorang yang baru saja merasakan sakit hati.
-END-
Duh maafkan daku Mal, ini cerita kelihatan
nggantung. Padahal aku berusaha agar ceritanya tidak kelihatan nggantung. Dan
maaf bila banyak typo. Aku akan author abal- abal yang hanya sejenis manusia
biasa, jadi kalau banyak salah dimaapin dan diwajarin aja ya, jawab ya gitu?
Nah. Untuk yang baca sampai sini, aku ucapin makasih. Tangkyu banget~ dan jangan
lupa kritik nih cerita. Asal yang membangun. Dan sampai jumpa di lain cerita,
dadah~