TAMU

Sabtu, 14 Februari 2015

INSANE



Tittle        : Insane
Author    : Gesit
Genre      : Find by yourself
Rated      : General
Length    : Oneshot
Cast         : Lia and others.





Halohalo~ hoho, author abal- abal kambek nih. Dengan cerita yang biasa gitu- gitu mulu. Maap ya maap. Terutama sama Lia, maap Li kalauya nih cerita jelek dan ewwh. Maap banget yaa~ ya udah, ayo langsung cus ke cerita. Mari~

Story*

“…Lagian, seorang kakak tidak pernah memacari adiknya..”

Hujan turun. Kehadirannya membawa hawa sejuk dan menyegarkan. Nyaman dan memberi suasana damai. Tapi suatu hal terasa mengganjal, terasa menganggu, dan aku masih belum bisa menemukannya. Aku tidak mengetahuinya.

Gemercik hujan menjadi lagu terindah untuk kali ini, tidak ada petir, tidak ada angin. Benar- benar hanya ada langit dan air hujan. Dan aku begitu menyukainya.
Sekarang, aku masih menatap luar di balik jendela kamar yang berembun. Suasana di luar sana terlihat menggodaku untuk keluar dan bermain dengan hujan. Aku ingin bermain.

Tidak, aku tidak mungkin bermain dan menyapa hujan hari ini. Rasa pusing di kepalaku belum lah sembuh, jika aku terus memaksakan, rumah sakit menjadi resikonya. Aku tidak mungkin dengan sukarela berkunjung ke sana, tidak akan.

Ponselku bergetar satu kali. Aku kemudian bergegas dan menghampiri ponselku yang tergeletak di kasur, kemudian aku membaca satu pesan masuk. Pesan yang – sebenarnya tidak – ku harapkan.

Hai Li! ^_^

Aku bergeming untuk beberapa saat, nafasku tertahan. Tanganku secara tiba- tiba meremas dadaku, getaran di sana begitu cepat. Dag, dig, dug. Seperti menggemakan sebuah rasa, rasa rindu, rindu yang menyakitkan. Dan ini lah jawabannya, jawaban dari perasaanku yang selalu kosong dan sesak. Heol, baik lah, mari akan aku ceritakan tentang hal ini. Tapi tolong jangan tertawa.

_00oo00_

Apa sih yang kalian rasakan saat jatuh cinta? Senang? Tentu saja. Berbunga- bunga? Sudah pasti. Dan yang pasti, kalian akan menjadi sosok yang berbeda dari biasanya. Dan aku seperti remaja kebanyakan. Aku bahkan tidak bisa tidur karena terus mengingat wajahnya. Ini berlebihan memang, tapi aku yakin, diantara kalian yang kini tengah mengataiku berlebihan, kalian pernah merasakan apa yang aku rasakan ketika sedang jatuh cinta. Jangan mengelak!

Kini bahkan aku tengah menunggu laki- laki itu keluar dari kelasnya. Dari kejauhan sih, tidak mungkin kan aku terang- terangan menunggunya di depan kelasnya dan kemudian aku berteriak ‘Hai boy! Akhirnya kamu keluar! Aku sedari tadi menunggumu! Ayo pulang dan makan siang!’. Ugh, menggelikan kan? aku jelas saja tidak mau melakukannya, selain memalukan dan menjijikan, hal tadi juga bisa merusak reputasi diri. Dan aku tidak menginginkannya.

Tik tok tik tok dan dia keluar dari kelasnya, dia berjalan dengan langkah khas miliknya, setiap langkahnya bahkan berhasil menggetarkan hati, membuat perutku geli dan ingin meledak karena terlalu senang.

“ Hai Li!”
Aku ingin pingsan sekarang juga, ya, sekarang! Dia menyapaku, dia menyapaku! Kalian lihat kan? Aku kemudian tersenyum dan membalasnya. Dan sial! Bahkan menyapanya lidahku kelu, terlalu grogi. Dan ya ampun, kenapa Tuhan menciptakan manusia tampan sepertinya, hampir sempurna dan hampir tanpa cela. Kalian jangan banyak komentar, setiap orang yang jatuh cinta selalu memuji orang yang mereka suka. Walaupun, orang yang mereka suka wajahnya amit- amit jabang bayi, mereka akan tetap menggambarkannya sebagai sosok yang sempurna. Tapi Zann memang tampan, orang lain pun mengatakan hal yang sama.


“ Kamu di sini sendirian Li? Tidak berniat pulang?” dia memang selalu seperti ini, ramah kepada siapa pun. Dia bahkan menyadari kehadiran sosokku yang berusaha kusembunyikan di tempat paling tersembunyi. Tapi dia selalu berhasil menangkap sosokku. Heol, Tuhan memang selalu baik. Bahkan do’aku untuk bisa bertemu Zann selalu terkabul.

“ emm, ini, aku hendak pulang. Sebenarnya tadi bersama San, tapi dia lebih dulu pergi.” Dia mengangguk dan setelahnya dia tersenyum dan menawariku pulang bersama, dan jelas saja aku tidak bisa menolak. Kesempatan kan tidak datang dua kali.

Kami berjalan dalam pembicaraan ringan, menceritakan pengalaman pribadi bahkan sampai membahas materi sekolah. Dia memang sosok orang yang ramah dan selalu bisa membuat orang lain nyaman di sampingnya, termasuk keahliannya membuat topik segar dalam sebuah obrolan.

Langkah kami tiba di depan rumahku, Zann memaksa untuk mengantarku pulang, katanya, dia tidak tega melihatku pulang sendirian, Oh God! Siapa perempuan yang tidak gila untuk hal ini? Ini benar- benar bisa membuat jantungku meledak. Aku kemudian mengucapkan terima kasih karena Zann sudah mengantarku. Dia mengangguk dan menunjukkan senyum manisnya.

“ emm Li, boleh ku minta nomor ponselmu? Berteman denganmu rasanya menyenangkan.” Okeh Li, tenangkan dirimu, dan cepat sebutkan deret nomor ponselmu. Ingat, awal hubungan yang manis berawal dari pertemanan. Cepat sebutkan! Dan ya, Zann berhasil menyimpan nomor ponselku. Dan katanya, dia akan menelponku nanti malam. Sungguh, seseorang tolong jaga aku agar tidak meleleh secepatnya.

“ emm Zann aku masuk yaa. Kamu hati- hati di jalan.” Dia mengangguk dan melambai pergi. Dan jelas saja aku masuk rumah dengan gaya gila yang perempuan lakukan saat jatuh cinta. Melompat dan berteriak senang. Ah, semoga hal ini menjadi keberuntungan yang beruntut.

_00oo00_

Malam itu Zann benar menelponku, suaranya begitu menggetarkan hati, bahkan rasanya tubuhku sudah berbentuk cairan karena meleleh dengan setiap ucapan yang Zann lontarkan. Ingat, dia begitu perhatian. Di suatu obrolan, dia mengatakan bahwa alasan dia mau dekat denganku adalah karena aku membuatnya nyaman, aku perhatian terhadapnya ( ini jelas saja kulakukan. Karena aku kan memang menyukainya, dan salah satu cara agar dia tahu aku menyukainya ya dengan cara ini), dan aku menyenangkan untuk menjadi teman bercerita.

“ Besok ada waktu, Li?”

“ Tidak, kenapa?”

“ Mau temani aku jalan- jalan? Aku jenuh di rumah, ku mohon temani aku ya. Ku mohon.”

“ Baiklah,”

Dan aku benar- benar melayang saat itu, rasanya jalanan berbentuk cokelat leleh yang menghanyutkanku dalam rasa manisnya. Dan esoknya, kami benar- benar pergi bersama. Kami menghabiskan waktu seperti yang biasa anak remaja lakukan. Menonton, duduk dan makan di café, serta hal yang manis yang kami lakukan adalah kami berfoto bersama. Jarang ada laki- laki yang mau mengajakku berfoto.

“ Kamu manis Li.” Dan aku terdiam. Bukan karena aku tidak bisa mencerna ucapan Zann barusan, tapi karena aku berusaha mati- matian menahan rona merah di kedua pipiku. Sial, bahkan rona merah itu berhasil tertangkap oleh penglihatan Zann. Dan dia menertawaiku.

“ Lucu. Jika tahu seperti ini, akan kugoda setiap hari,” Aku melotot, menanggapi ucapannya. Aku kemudian pergi mendahuluinya, dan dia berteriak, meneriaki namaku. Dan meminta maaf karena membuatku kesal.

“Puas menggodaku? Ugh, lain kali aku tidak mau menemanimu lagi. Jika tahu seperti ini lebih baik tidur siang di rumah,” ini bohong Zann, bahkan aku suka saat kamu mengatakan aku manis dan lucu. Ini kan kata- kata ampuh untuk membuat seorang gadis semakin jatuh cinta pada laki- laki yang mereka suka.

“ Maaf- maaf Li, jangan marah dong. Aku kan hanya bercanda. Emm, sebagai gantinya bagaimana kalau aku traktir es krim?” mataku berbinar, dan kami pun segera menuju kedai es krim. Di sana kami banyak pembicaraan. Dan tiba dalam satu momen, dia secara langsung mengatakan bahwa hari ini dia berhasil mengajakku kencan tanpa tahu bahwa aku diajak kencan olehnya. Dan dia memang benar.

Setelah berhasil menikmati es cream, kami pulang. Hari sudah sore dan cuaca tiba- tiba menjadi mendung, jadi kami putuskan untuk menyudahi kencan –manis— itu. Dia seperti biasa, mengantarku pulang ke rumah sampai dipastikan aku selamat tanpa luka. Kini dia menggiringku masuk dengan usapan lembut di kepalaku. Ingat, dia mengusap kepalaku dengan tangannya, tangannya! Hati siapa yang tidak melompat- lompat untuk hal ini?

“ Sampai jumpa Li!” dia melambai pergi dan aku membalasnya dengan hal yang sama. Aku masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang benar- benar berbunga.

_00oo00_

Saat jam istirahat tiba, aku sudah berada di perpustakaan. Aku dan San berencana mencari buku yang akan menjadi bahan tugas. Sambil mencari buku, kami sesekali bercengkrama dan bergurau dengan suara yang kami usahakan sekecil mungkin. Takut mengganggu pengunjung perpusatakaan yang lain pastinya.

“ emm Li bagaimana hubunganmu dengan Zann? Sudah sampai mana?” tiba- tiba San mengangganti topik. Dan aku terdiam, aku kemudian mencari kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan San barusan.

“ Hampir sampai di tempat tujuan.” Tidak, seharusnya sudah sampai di tempat tujuan, tapi Zann kembali memutar jalan agar kami terus berjalan tanpa berhasil menyampai tempat yang kami tuju. Tidak, mungkin maksudku tempat yang ingin kusampai. Mungkin Zann memiliki tempat tujuan lain. Dalam artian Zann tidak menginginkan adanya sebuah hubungan yang serius.

“ Sudah enam bulan kalian dekat loh. Tidak sampai- sampai? Mau kalian apa? Bermain? Kalau begitu, pergi saja sana ke taman kanak- kanak.”  Aku tercekat. Tajam benar ucapan San. Pelan namun berhasil melukai. Dia benar memang, bahkan aku baru sadar jika sudah lama sekali aku dekat dengan Zann. Tapi tidak pernah ada perubahan, kata- kata manis sudah sering Zann ucapakan, kata- kata perhatian bahkan sampai perlakuan manisnya pun setiap hari Zann tunjukkan. Namun begitu, Zann belum memberi kepastian.

“ Ya tidak apa- apa San. Mungkin dia belum berani bicara.” Ini bohong. Sebenarnya hatiku benar- benar terluka.

“ Tidak apa- apa?! Baiklah, terus saja seperti ini. Menjadi jemuran lusuh. Terus saja seperti ini, sampai boyband Korea yang kamu sukai itu merilis album dangdut yang pertama!” kemudian San pergi dan aku terjatuh karena lemas dengan ucapan terakhir San. Jemuran? Heh, kenapa aku baru sadar? Kenapa aku begitu bodoh? Dan saat itu, ketika aku masih berada di perpusatakaan, aku terisak dan menangisi kebodohanku.

_00oo00_

Hujan turun dan aku dalam kondisi mengenaskan. Ini terlihat seperti adegan menyedihkan di sebuah cerita fiksi atupun melodrama. Benar- benar sangat dramatis. Namun sesungguhnya tidak dramatis karena ini memang keadaanku yang sesungguhnya, sedih dan terbawa suasana hujan. Bahkan aku seperti menangis bersama hujan karena suara isakku sama kerasnya dengan suara hujan yang tengah turun. Dan ku mohon, kalian jangan tertawa. Jika ada yang tertawa akan ku do’akan kalian merasakan apa yang tengah kini kurasakan. Atau mungkin kalian tertawa karena kalian pernah merasakan perasaan yang sama? Patah hati karena tidak diberi sebuah kepastian? Ugh, maafkan aku, aku tidak bermaksud mengingatkan.

Aku kemudian teringat tentang pesan dari Zann. Dia berpesan agar setengah jam lagi aku harus berada di café yang biasa kami kunjungi, dia berniat ingin mengatakan sesuatu untukku. Aku hanya bisa menyanggupi dan ini lah aku sekarang, sedang bersiap dan mencari payung untuk pergi ke sana. Dan lima belas menit kemudian aku sudah berada di jalan tengah menuju café.

“ Ada apa Zann?” sebelum duduk, aku sudah menyapanya dengan kalimat tadi, dia hanya diam dan mempersilahkanku duduk. Kemudian dia mulai berbicara. Dan dari arah bicaranya, aku yakin dia sedang berusaha mencari tahu apa arti dirinya bagiku. Kemudian aku tersadar, aku yakin San mengatakan apa yang terjadi tadi siang pada Zann. Tentang aku yang tidak pernah dberi sebuah kepastian.

“ Li, jadi selama ini kamu menempatkanku sebagai apa?” aku terenyak. Bukankah seharusnya aku yang harus berbicara demikian? Kenapa hal ini terbalik.

“ Seseorang yang istimewa.”

“ Istimewa? Lalu, jika aku tidak menempatkanmu di bagian itu, bagaimana?” aku meremas rokku. Tolong, jangan, jangan keluarkan air mata Li. Tahan.

“ Tidak apa- apa.” Ini kebohongan besar! Sebenarnya jika Zann menganggapku tidak istimewa, aku akan tidak baik- baik. Aku bisa terluka parah. Sia- sia benar usahaku selama ini, seperti sebuah kegagalan besar. Sangat besar.

“ Maafkan aku ya. Maaf membuatmu salah paham, selama ini aku hanya menganggapmu seorang adik. Kamu manis sih untuk menjadi seorang adik.” Aku semakin meremas rokku. Bahkan kini seperti ada kerikil yang menancap di hati yang sebelumnya sudah terluka –oleh orang yang sama—. Perihnya tidak terkira jika kalian menanyakan bagaimana.

“ Oh~ adik. Wah, aku senang mendengarnya Zann. Lain kali kita saling menyapa dengan tambahan ‘kak’ atau ‘dik’ setelah kalimat ‘hai’. Terlihat pas Zann.” Aku tersenyum, dan ini palsu. Dan yang lebih menyakitkan, dia tersenyum sangat manis di saat orang yang di depannya sedang berusaha menahan tangis.

“ Zann, aku pamit pulang yah. Jaga dirimu baik- baik. Ingat, ini adalah pesan dari seorang adik, jadi,  selamat tinggal.” Aku beranjak pergi. Pergi tanpa memberinya lambaian tangan. Dan aku –berusaha— tidak memperdulikannya lagi mulai sekarang.

_00oo00_

Ya, kala itu aku mengakhiri kedekatanku dengan Zann. Susah benar semenjak hari itu sampai detik ini untuk melupakannya. Sekeras apapun aku berusaha melupakannya, dia tetap melintas di pikiranku, tanpa permisi pula. Dan semenjak hari itu pun Zann tidak pernah menghubungiku lagi, selain karena aku selalu menolak panggilan teleponnya, aku selalu tiba- tiba menghilang jika Zann mencariku. Dan jika kami berpapasan dan dia menyapaku, aku hanya tersenyum dan setelah itu aku pergi tanpa adanya lambaian tangan. Dan untuk menanyakan apakah aku merindukannya, aku jawab iya. Tapi itu hanya rindu perlakuan manisnya, bukan perlakuan kejamnya. Heh, maaf- maaf saja ya.

Dan hari ini, dia mengubungiku. Tanpa ada alasan apapun. Rasanya dia seperti manusia yang tidak mengerti rasa bersalah. Sudah menyakiti tapi tidak pernah meminta maaf. Sudah membuatku memberi hati, tapi tidak pernah berniat membalas memberi hati. Dia benar- benar kejam kan?
 Aku melirik ponselku, ada sepuluh pesan darinya. Dan isi pesan darinya adalah kata- kata tidak penting, hanya sapaan. Aku tidak membalasnya karena aku berusaha mungkin agar tidak berkomunikasi dengannya lagi, sudah cukup. Selain lelah, alasan lain aku tidak menghiraukannya adalah aku tidak ingin masuk ke dalam lubang luka yang sama lagi. Luka yang kualami saja belum benar- benar sembuh, kira- kira jika di samakan, luka di hati ku kali ini sudah berbentuk koreng, tinggal menunggu korengnya mengelupas, hatiku –mungkin— akan sembuh. Ya seperti itu kiranya. Dan makanya aku menghindarinya, takut tiba- tiba lukaku akan tergores dan nanti akan sakit lagi. Ah, tidak mau.

“ Lia!” ibuku memanggil. Suaranya seperti yang bisa kalian bayangkan. Ya, kalian pasti mengerti.

“ Ya bu?” aku menjawab, namun aku masih tetap berada di kamar.

“ Ada Zann nih. Cepat turun dong!” mendengar itu, tubuhku kaku. Seperti ada salju yang tiba- tiba turun.

Dan entah setan apa yang melintas, aku keluar dari kamar dan pergi menemui Zann. Dia duduk di sana, dia tersenyum dan kemudian menyapaku. Aku hanya diam dan wajahku tidak menunjukan reaksi. Kaku.

“ emm Li, aku sudah izin pada ibumu untuk membawamu pergi, sebentar kok. Ayo.” Aku masih diam. Dan aku baru sadar ketika aku merasakan dia menarikku keluar. Dan kali ini dia membawaku ke taman komplek rumah.

“ Ada apa?” kali ini aku berbicara. Kesadaraanku sudah kembali sepenuhnya.

“ Aku minta maaf soal enam bulan yang lalu. Masih ingat tidak?” jelas saja ingat Zann. Siapa sih orang yang bisa dengan mudah melupakan sebuah kesakitan? Apalagi ini luka hati, susah sembuh. Dan kamu kembali datang hanya untuk berusaha mengobati? Hei lihat, bahkan lukanya sudah kering. Jadi obat merah pun tidak berguna.

“ Tidak Zann. Yang mana? Aku tidak merasa kamu pernah berbuat salah?” dia mengernyitkan dahi. Ya, untuk berada di depanmu, aku berusaha baik- baik. Aku tidak mau terlihat lemah apalagi di depan orang yang dengan tersirat seperti seorang musuh.

“ Aku yakin kamu masih mengingatnya. Aku yakin kamu terluka. Dan untuk itu, aku minta maaf dan ayo kita kembali, kita mulai dari awal. Dan kita ubah hubungan kakak adik kita menjadi hubungan yang istimewa.” Perasaanku seperti terhempas. Dan luka itu membuka, tergores. Dia benar- benar brengsek, ugh maaf, aku tidak tahu kata halus dari kalimat tadi. Maafkan aku.
Dia berani sekali berbicara, dia kira aku apa? Sebuah penginapan? Yang bisa ia tempati dan tinggali semaunya, begitu? Benar- benar laki- laki sakit jiwa. Pergi ke rumah sakit saja sana!

Aku masih terdiam. Diam, diam dan diam. Aku masih berusaha mencari kalimat yang tepat yang manis, agar dia tidak berulah dan tidak lagi menjadi sebuah hal yang tajam, yang bisa melukaiku, terutama hati.

“ Maaf Zann. Mungkin untuk bisa kembali, kita harus menunggu adanya renkarnasi,”

“ Tapi renkarnasi itu hal yang mustahil,”

“ Nah! Itu jawabannya. Kita kembali bersama- sama seperti dulu adalah mustahil, jadi jangan berharap kita bisa kembali.”

Dia menggeleng dan membantah jika itu semua bukanlah hal yang mustahil. Aku hanya bisa berdecak dan melipat tangan. Heh, dasar sakit jiwa, sudah tahu orang yang ada di depannya menolak pernyataan cintanya, masih saja memohon. Maunya apa? Huh, orang seperti ini pantas sekali untuk dibuang ke laut.

Dan mungkin untuk mengakhiri pertemuan dengannya, aku harus berbuat seperti—

“ Zann! Tolong dengar kan ya. Kita sudah tidak bisa kembali bersama lagi. Lagian, seorang kakak tidak pernah memacari adiknya. Ingatkan? Kalau sudah paham aku pergi, aku harus berobat. Jadi selamat tinggal kakak!” kemudian aku pergi – untuk selama- lamanya—
Dari hadapan Zann, seseorang yang baru saja merasakan sakit hati.

-END-

Duh maafkan daku Mal, ini cerita kelihatan nggantung. Padahal aku berusaha agar ceritanya tidak kelihatan nggantung. Dan maaf bila banyak typo. Aku akan author abal- abal yang hanya sejenis manusia biasa, jadi kalau banyak salah dimaapin dan diwajarin aja ya, jawab ya gitu? Nah. Untuk yang baca sampai sini, aku ucapin makasih. Tangkyu banget~ dan jangan lupa kritik nih cerita. Asal yang membangun. Dan sampai jumpa di lain cerita, dadah~